Thursday, July 07, 2005

Torment Marketing


Anda pernah liburan ke pulau Bali? Kalau pernah, apakah anda pernah mampir berbelanja ke “Pabrik Kata-Kata” Joger? Saya yakin hampir separuh lebih (kalau boleh saya menyebut 80%) orang yang pergi ke Bali menyempatkan berbelanja ke Joger yang tempatnya memang sangat startegis, disekitar kawasan pantai Kuta.

Begitupun saya. Setiap kali mudik ke Bali, saya pasti menyempatkan diri mampir ke Joger, meskipun akhir-akhir ini bukan untuk membeli baju buat saya pribadi, tetapi lebih karena titipan teman atau saudara. Banyak pengalaman menggelikan yang selalu saya alami saat pergi ke Joger. Mulai dari merasa “dikibuli” karena ketika jam sudah menunjukkan pukul 10 pagi yang seharusnya toko telah dibuka, tetapi dengan semaunya sendiri pihak Joger mengatakan kepada calon pembeli yang sudah antri bahwa pada jam mereka waktu masih menunjukkan pukul 09.30, yang berarti toko akan dibuka setengah jam lagi. Kami hanya geleng-geleng kepala dan tersenyum karena telah merasa ditipu oleh mereka. Belum lagi papan pengumuman yang ditempel besar-besar pada dinding toko yang bertuliskan, “DILARANG MEMBELI TERLALU BANYAK” atau tulisan “BARANG YANG KAMI JUAL ADALAH BARANG YANG JELEK-JELEK SAJA, dengan catatan jelek bagi kami, belum tentu jelek bagi Anda”. Sangat menggelitik!!!

Toko Joger yang berada di kawasan Pantai Kuta itu adalah satu-satunya toko asli milik Joger. Setelah sebelumnya Joger memiliki 2 cabang di tempat lain, tetapi dengan alasan tertentu akhirnya Joger memutuskan untuk menutup cabang tersebut dan hanya berkonsentrasi di satu toko di kawasan Kuta tersebut.

Dari cerita diatas, sepintas kita sebagai pelanggan Joger seolah-olah diperlakukan seena’e dewe’ oleh Joger. Coba bayangkan, mulai dari sering diminta menunggu toko buka, dilarang belanja terlalu banyak sampai ditutupnya cabang lain, yang tentunya makin menyulitkan kita karena hanya bisa mendapatkan Joger (yang asli) hanya di satu tempat. Tapi itulah Joger. Kalau kita perhatikan sepintas, apa yang dilakukan oleh Joger sepertinya berlawanan dengan dogma-dogma yang berlaku di dunia marketing saat ini yang sangat customer-centricity, yaitu berusaha sekuat tenaga untuk memuaskan hati sang pelanggan sehingga membuat mereka loyal pada produk kita. Namun baru-baru ini saya sempat membaca satu konsep marketing yang memang sepertinya anti dengan customer-centricity.

Torment Marketing namanya!!!

Konsep ini seolah-olah melawan arus (nyleneh). Bagaimana tidak, ketika saat ini dimana-mana orang berteriak-teriak tentang Customer Satisfaction dan Customer Loyalty, konsep ini malah mengajarkan kita untuk menyakiti atau menyengsarakan konsumen/pelanggan kita. Seperti membatasi ketersediaan (availability) produk kita, sehingga pembeli harus melakukan usaha untuk mendapatkan produk kita karena tidak tersedia dimana-mana, seperti yang dilakukan Joger dan Dagadu Djogya yang hanya membuka tokonya di dua tempat di Jogya. Atau beberapa produsen ponsel yang mengeluarkan sebuah produk dengan jumlah terbatas (limited edition). Tetapi kalau kita perhatikan, produsen tersebut sepertinya sangat mengerti arti dari value of exclusivity yang bisa dirasakan oleh konsumen yang beruntung memiliki ponsel tersebut. BCA juga melakukan konsep tormenting the customer. Merasa tak nyaman dengan plesetan Bank Capek Antri, BCA ingin merubah image negatif yang merupakan konsekuensi dari bank yang memiliki banyak nasabah. BCA kemudian ingin merasionalisasi nasabahnya, dan ingin mengubah pakem transaksi, dari transaksi tradisionil (antri di teller) ke transaksi yang lebih simpel dan modern (Klik BCA dan SMS banking). Oleh sebab itu belum lama ini BCA mulai menaikkan biaya transaksi langsung (seperti transfer atau ambil tunai), agar konsumen berganti ke transaksi modern dan mengurangi transaksi tradisionil. Pelanggan yang kira-kira tidak memiliki saldo rata-rata yang cukup tinggi mulai ”disengsarakan” karena dianggap kurang menguntungkan (profitable) BCA dalam jangka panjang. Maka untuk saldo tabungan dan setoran untuk pembukaan rekening baru pun sekarang dinaikkan dari Rp 20 ribu menjadi Rp 500 ribu. Artinya BCA hanya ingin mendapatkan konsumen yang profitable untuk jangka panjang.

Torment Marketing hanya salah satu dari sekian banyak konsep yang bisa diterapkan dalam dunia marketing saat ini. Konsep ini hanya akan efektif jika dijalankan oleh sang market leader. Terakhir, memang tak selamanya pelanggan harus dilayani seperti raja, sesekali pelanggan perlu disakiti dan disengsarakan. Seperti salah satu judul film legendaris dari negeri kita tercinta...Sengsara Membawa Nikmat!!!


* Research Executive MARS – Marketing Research Specialist
Cipinang, 280205-181936

Wednesday, July 06, 2005

Mystery Shopping


Bisnis apapun dijaman sekarang ini, baik produk maupun jasa pasti mengalami persaingan yang sangat-sangat ketat. Sadar akan kondisi ini, maka setiap pemain bisnis mulai menetapkan standar yang sangat tinggi pada setiap titik-titik kritisnya dengan pelanggan (Moment of Thruth). Apalagi dalam bisnis jasa, dimana setiap front liner sebagian besar adalah manusia, yang juga punya kelemahan. Front liner selalu dihadapkan pada standar yang tinggi dari waktu ke waktu, mereka slalu diminta memberikan pelayanan yang sama dari waktu ke waktu. Ini memang terasa tidak fair bagi mereka, karena bagaimanapaun tidak bisa disamakan ketika front liner melayani pelanggan dipagi hari yang masih dalam kondisi segar, dengan melayani pelanggan di sore hari yang telah bekerja seharian. Mereka dianggap mesin yang selalu mempunyai kemampuan yang sama dari waktu ke waktu. Tapi biar bagaimanapun, Front liner juga manusia layaknya seorang rocker… (Seurieus Band.red).

Perusahaan-perusahaan besar biasanya selalu ingin mengetahui apakah setiap front liner yang merupakan ujung tobak dari perusahaan telah menjalankan semua prosedur dalam melayani pelanggan dengan benar. Kalupun ada kesalahan, harus berada dalam taraf toleransi yang telah ditetapkan. Suatu metode riset telah dikembangkan oleh para praktisi riset untuk menjawab pertanyaan diatas, yaitu untuk merekam segala bentuk layanan yang diterima oleh pelanggan. Metode ini biasa dikenal dengan istilah Mystery Shopping (MS). Seperti layaknya riset-riset pasar lainnya, MS ini pun dilakukan dengan sangat rahasia, bahkan terkadang kepala cabang atau kepala kantor yang kantornya akan kita kunjungi pun tidak mengetahui apabila kantornya akan disurvey. Biasanya MS dilaksanakan oleh perusahaan di tingkat pusat, dan hasil dari riset ini sangat berguna untuk mengetahui kinerja masing-masing cabang dalam melayani pelanggannya.

Teknis dari riset MS ini adalah awalnya kita menyiapkan interviewer berpengalaman, yang selanjutnya kita akan sebut sebagai Shopper. Misal kita akan melakukan MS di sebuah Bank, maka kita acak terlebih dahulu jadwal kunjungan ke bank tersebut. Kita acak mulai dari hari operasi, sampai jam kunjungan (pagi, siang atau sore). Shopper akan berperan layaknya seorang calon nasabah yang akan membuka rekening di bank tersebut. Seperti kita ketahui sangat banyak moment of truth yang akan kita lalui ketika kita akan membuka transaksi di bank, mulai dari berurusan dengan petugas parkir, bertemu dengan satpam di pintu masuk, ke bagian informasi untuk menanyakan tempat pembukan rekening, mengambil antrian, sampai bertemu dengan customer service di bagian pembukaan rekening baru. Sebelum melakukan mystery shopping, sang shopper telah ditraining dan dibekali dengan kuesioner yang akan diisi sesaat setelah menyelesaikan traksaksi. Tentunya proses pengisian kuesioner ini bersifat rahasia, dengan tujuan mendapatkan hasil yang sebenarnya, tanpa rekayasa.

Biasanya hal-hal yang akan kita cari adalah, apakah para front liner tersebut menanyakan nama kita, dan selanjutnya menyapa kita dengan nama panggilan kita. Apakah mereka menjelaskan secara rinci apa yang kita tanyakan. Riset MS juga biasanya mengecek hal-hal yang dapat terlihat secara kasat mata, misal: apakah para customer service menggunakan papan namanya secara benar, apakah menggunakan logo ”smile” (biasanya logo ini adalah janji perusahaan untuk melayani pelanggan dengan senyuman), atau bahkan sampai mengecek kondisi toilet bank tersebut. Apakah lantainya kering, tersedia tissue, dan lain sebagainya. Dan untuk mengurangi kesalahan shopper dalam mengingat proses transaksi, maka diantisipasi dengan cara shopper harus mengisi kuesioner sesaat setelah melalui satu transaksi, bisa di toilet atau di tempat yang tidak diketahui oleh para front liner/petugas bank tersebut.

Hal-hal yang diukur bisa disimpulkan dalam 5 dimensi, yaitu front liner (skill, sikapnya, penampilan), layanan via telepon, kelengkapan transaksi, promotion material (keberadaan brosur, poster promosi), penampilan fasilitas (lobby, waiting room, toilet). Ada baiknya jika program mystery shopping ini dilakukan secara berkala dan berkesinambungan, bisa dilakukan tiap triwulan, semester, atau setidaknya satu tahun sekali, karena ini semua tergantung pada komitmen perusahaan dalam meningkatkan pelayanannya terhadap pelanggan dan budget research di tiap-tiap perusahaan.

Terakhir, mystery shopping hanya salah satu metode riset yang bertujuan untuk merekam layanan perusahaan terhadap pelanggannya, yang diharapkan bisa memperbaiki kinerja perusahaan untuk memuaskan dan membuat loyal pelanggannya. Tipsnya...Lakukanlah secara rahasia!!!


* Research Executive MARS-Marketing Research Specialist

Rawamangun, 140205

Brand itu bernama...Iwan Falls


Bila mentari, bersinar lagi….
Hatikupun ceria kembali….
Kumenanti seorang kekasih…
Yang tercantik yang datang dihari ini…


Sebagian besar diantara kita pasti hafal dengan bait-bait lagu diatas. Lagu diatas seperti lagu ‘wajib’ bagi para pengamen jalanan. Lagu yang sangat sederhana, bahkan ketika dimainkan hanya dengan 1 gitar kopong-pun lagu tersebut hanya membutuhkan tak lebih dari 4 kunci dasar. Sempat diaransemen ulang dengan sedikit sentuhan pop membuat lagu ini makin enak dinikmati. Tapi itu hanya sebagian kecil dari karya-karya Iwan Fals yang cukup melegenda, selain Guru Oemar Bakri, Surat Buat Wakil Rakyat, Bento, Bongkar, Sarjana Muda dan masih banyak lagi.

Terlahir dengan nama Virgiawan Listianto, pria kelahiran Jakarta 43 tahun yang lalu ini telah menghasilkan lebih dari 30 album rekaman, Fantastis!!! Iwan Fals muda menghabiskan masa sekolahnya di Bandung, belajar bermain gitar dari teman-teman nongkrongnya dan bahkan pernah menjadi pengamen jalanan.

Semua pasti sepakat kalau Iwan Fals termasuk salah satu dari sedikit legenda hidup dalam dunia entertainment khususnya musik di Indonesia. Hampir semua konser-konser Iwan Fals pasti dipenuhi oleh fans fanatiknya yang dikenal dengan nama “OI”. Entah apa sebenarnya kepanjangan dari “OI” ini, ada yang menyebutnya Orang Indonesia, Organisasi Iwan tapi itu tak terlau penting, yang penting adalah Iwan Fals telah memiliki pengikut yang amat sangat fanatik.

Saya sendiri sangat terkagum-kagum dengan Iwan Fals, sebagai sebuah brand ia telah cukup lama dikenal. Merek Iwan Fals (jika kita anggap Iwan Fals sebagai sebuah produk) telah tertanam kuat dalam benak konsumen. Iwan Fals sebagai sebuah merek telah memiliki brand equity yang kuat. Seperti kita ketahui brand equity atau ekuitas merek adalah asset intangible yang dimiliki oleh sebuah merek karena value yang diberikannya baik kepada si produsen maupun si pelanggan. Semakin tinggi brand equity maka semakin tinggi pula value yang diberikan oleh merek tersebut baik kepada si produsen maupun si pelanggan. Pakar merek abad ini David Aaker membagi ekuitas merek menjadi lima komponen, yaitu brand awareness, brand association, perceived quality, brand loyalty, dan asset merek lain seperti trademark (hak paten).

Brand Awareness (Kesadaran Merek) adalah ukuran kekuatan eksisitensi merek dalam benak konsumen/pelanggan. Brand Awareness mencakup brand recognition, brand recall dan top of mind (TOM). Dalam hal ini, brand awareness Iwan Fals sudah cukup tinggi, hal ini disebabkan karena Iwan sudah lama berkarir dalam dunia musik di Indonesia. Brand Association (Asosiasi Merek) adalah asosiasi apapun yang berkaitan dengan sebuah merek, asosiasi disini bisa berupa symbol, logo, benda, orang, tempat dan masih banyak asosiasi lainnya. Asosiasi yang menempel kuat pada merek Iwan Fals adalah seorang penyanyi dengan lagu-lagu bertema sosial, berani melawan pemerintahan yang dzalim, penyayi dengan gitar dan harmonika yang melilit dileher. Tapi yang menguntungkan merek Iwan Fals adalah hampir semua asosiasi yang menempel pada dirinya adalah asosiasi yang bersifat positif yang efeknya bisa meningkatkan ekuitas merek Iwan Fals secara keseluruhan. Dalam hal Perceived Quality (Persepsi Kualitas), yaitu persepsi pelanggan dalam hal kualitas produk kita. Apakah produk kita dipersepsikan baik, biasa saja atau bahkan cenderung buruk dibandingkan dengan produk sejenis/kompetitor. Untuk dimensi ini, saya dengan tegas berani mengatakan bahwa persepsi kualitas dari merek yang bernama Iwan Fals sangat bagus/tinggi. Ini dibuktikan dari banyaknya penghargaan yang diraih Iwan Fals yang semakin membuktikan eksistensinya di kancah permusikan di negeri ini. Artis Solo Pria Terbaik dan Legend Award di Anugrah Musik Indonesia (AMI) Award, Most Favourite Male Artist di MTV Indonesian Award, Musisi Paling Bernyali di A Mild Live Soundrenalin dan masih banyak lagi penghargaan-penghargaan bergengsi yang pernah diraih bang Iwan. Dalam aspek Brand Loyalty (Loyalitas Merek) Iwan Fals juga memiliki ‘pelanggan’ yang loyalitasnya tidak perlu diragukan lagi. ‘Pelanggan’ loyal itu dikumpulkan dalam sebuah organisasi yang bernama “OI”. OI jadi semakin cepat terkenal karena banyak produsen baju yang mencetak/menyablon baju-bajunya dengan label OI dan foto-foto Iwan Fals.

Hampir semua dari aspek-aspek yang membentuk brand equity Iwan Fals terintegrasi dengan nyaris sempurna. Saya katakan nyaris sempurna karena ada satu komponen yang cukup potensial untuk merusak ekuitas merek dari seorang Iwan Fals, yaitu OI. Pada masyarakat awam masih terbentuk image bahwa para fans Iwan Fals (OI) sering melakukan kerusuhan/keonaran saat Iwan melakukan konser. Image negatif ini kalau dibiarkan terus-menerus sangat mungkin bisa merusak ekuitas merek dari Iwan secara keseluruhan. Hal ini sangat disadari oleh management Iwan Fals. Mereka berusaha sebisa mungkin membenahi aspek ini.

Pengalaman yang cukup menegangkan sempat saya alami ketika saya dan teman-teman dari advertising agency menghadiri perayaan Ulang Tahun yang ke-3 Trans TV belum lama ini di Stadion Gelora Bung Karno. Pada undangan tercantum Iwan Fals sebagai salah satu pengisi acara. Saya memang sempat cemas dengan perilaku OI yang saya bilang mirip bonek (suporter fanatik Persebaya). Kecemasan saya memang terbukti, pada saat konser mereka melakukan lempar-lemparan batu dengan polisi, alasannya hanya satu karena mereka tidak bisa masuk menonton sang Idolanya karena mereka tidak mempunyai tiket. Sebuah loyalitas yang merugikan image Iwan Fals yang nota bene cinta damai dan tanpa kekerasan.

Kekuatan ekuitas merek Iwan Fals tentunya ditunjang dengan positioning dan differentiation yang jelas. Positioning yang bisa dipahami dengan bagaimana kita bisa memposisikan produk atau merek kita dibenak konsumen. Kalau kita pahami sebenarnya perang pemasaran sesungguhnya ada di benak konsumen, perang persepsi (battle of perception). Dan Iwan Fals telah membangun positioningnya secara disengaja maupun tidak disengaja. Positioning sebagai ikon artis penyanyi legendaris Indonesia yang selalu membawakan lagu-lagu yang bertemakan kritik sosial, pembela rakyat kecil dan reformis. Positioning adalah janji kepada konsumen. Dan saya pikir Iwan Fals telah menepati janjinya, saya tidak melihatnya sebagai positioning yang over promise under deliver!!!

Positioning ini kuat karena ditopang oleh diferensiasi yang jelas. Diferensiasi Iwan dari sisi content (what to offer) adalah selalu membawakan lagu-lagu sederhana, mudah dicerna. Terkadang ia keras menyengat, terkadang lembut menyentuh tak jarang liriknya centil dan cenderung membuat kita tersenyum. Dari sisi context (how to offer), Iwan bernyanyi dengan gayanya (style) sendiri. Selalu memegang gitar dan tak canggung untuk memainkan harmonika yang melilit lehernya. Diferensiasi lainnya adalah dari sisi infrastructure, Iwan Fals memiliki penggemar yang sangat-sangat loyal, yaitu Orang Indonesia (OI), sisi ini yang tidak banyak dimiliki oleh penyanyi-penyanyi solo di Indonesia. Perlu dicatat bahwa selama ini penggemar (fans) yang terorganisir dalam suatu wadah resmi hanya dimiliki oleh grup-grup musik, seperti Baladewa (Dewa), Sobat Padi, Slanker (Slank),dll.

Brand Iwan Fals semakin kokoh setelah beberapa tahun belakangan ini ia melakukan Co-branding dengan beberapa musisi muda ternama Indonesia. Ini dibuktikan melalui peluncuran album “In Colaboration With…”. Dalam album ini Iwan Fals menyanyikan lagu-lagu ciptaan Pongky Jikustik, yang juga menjadi hits (Aku Bukan Pilihan), kemudian lagu ciptaan Eros Sheila On 7, yang menjadi second single (Senandung Lirih), ciptaan Azis Jamrud dan masih banyak lagi. Dalam dunia pemasaran, co-branding biasanya bertujuan untuk saling menguatkan antara satu merek dengan merek yang lainnya. Misalnya Aqua melakukan co-branding dengan raksasa air minum dari Prancis Danone menjadi Aqua-Danone. Iwan Fals seolah-olah tak mau kehilangan pasar generasi tahun 2000-an ini, ia seperti ingin menegaskan bahwa penyanyi “tua” seperti dia pun masih oke untuk membawakan lagu-lagu yang bertemakan anak muda dan cinta. Dan album inilah jawabannya!!!

Iwan Fals memang cukup bisa bertahan lama dalam kancah permusikan di negeri ini. Tapi dengan semakin ketatnya persaingan dalam industri ini, management Iwan Fals juga harus terus berpikir bagaimana membuat brand Iwan Fals ini tetap bisa diterima pasar musik Indonesia. Saya menyarankan agar Iwan Fals tetap mempertahankan Positioning, Differentiation dan Brand secara konsisten dan saling terintegrasi. Harus selalu ada usaha untuk meremajakan merek ini agar tidak ditinggal penggemarnya dikemudian hari.

Biar bagaimanapun, semua orang pasti sepakat kalau Iwan Fals adalah seorang marketer tulen!!!



· *Research Executive MARS-Marketing Research Specialist
· In the end of this year with much wonderful moments… Thanks Allah
· Jakarta,28 Desember 2004

Pertarungan di Minuman Energi


Menarik memperhatikan pertarungan pada kategori minuman energi, baik dalam kemasan botol maupun sachet/serbuk. Selama beberapa tahun belakangan ini, Extra Joss mampu menjadi pemimpin pasar pada kategori serbuk/sachet. Salah satu faktor yang sangat menunjang Extra Joss bisa menjadi pemimpin pasar adalah faktor belanja iklan yang relatif bisa dikatakan besar. Beberapa acara di TV pun ikut disponsori oleh Extra Joss, terutama acara-acara olahraga. Bahkan ketika Piala Dunia 2002, Extra Joss sengaja mempersiapkan iklan khusus versi piala dunia dengan endorser Alesandro Del Piero yang saat itu sedang bersinar dengan klub sepakbola Juventus dan Tim Nasional Italia. Pembuatan iklan ini memang memakan biaya yang besar, karena menggunakan bintang sepakbola Del Piero dan pembuatannya langsung di Italia. Tetapi hasil yang didapatkan juga terbilang sukses. Extra Joss juga berusaha “menaikkan derajatnya” yaitu dengan menggarap segmen menengah atas (SES A,B). Hal ini disebabkan pada awalnya Extra Joss dianggap hanya sebagai minuman bagi pekerja yang menggunakan otot, seperti supir truk, kuli bangunan dan lain sebagainya. Ada kecenderungan golongan menengah atas seperti eksekutif muda dan mahasiswa agak malu mengkonsumsi Extra Joss, padahal menurut PT.Bintang Toedjoe, produsen Extra Joss, golongan menengah keatas juga merupakan target market mereka. Akhirnya dibuatlah suatu komunikasi pemasaran dalam bentuk slogan “Gen-B”, yang merupakan kepanjangan dari Generasi Biang, yaitu suatu generasi yang berisi kumpulan orang-orang yang penuh bakat, kreatif dan berprestasi. Extra Joss seolah-olah ingin mengatakan bahwa, orang-orang muda yang berprestasi seperti Dani Dewa, Melly Goeslaw juga minum Extra Joss. Iklan ini juga terbukti mampu menggenjot penjualan Extra Joss.
Sementara Extra Joss “asyik” menjadi pemimpin pasar dan berusaha merambah SES atas (A,B) kompetitornya-pun tidak tinggal diam. Pemain lain macam Fit Up dan Hemaviton Jrengg yang di back up oleh perusahaan besar PT.Tempo Scan Pasific juga tidak mau kalah. Mereka melihat Extra Joss sedang berkonsentrasi “meyakinkan” golongan menengah keatas (SES A,B), dan melihat ada celah di SES menengah kebawah. Mereka sama-sama menggelontorkan dana yang cukup besar untuk belanja iklan, tentunya dengan tujuan meningkatkan awareness konsumen yang ujung-ujungnya berimplikasi pada peningkatan daya jual. Hal yang menarik terjadi pada tahun 2003, ketika ada pemain baru, yaitu Sakatonik Grenk yang langsung menggebrak pasar dengan menggunakan endoser yang sedang sangat-sangat naik daun saat itu, yaitu Inul Daratista dengan iklan goyang ngebornya. Tak pelak awareness dari Sakatonik Grenk juga melesat cepat.
Memasuki tahun 2004, Extra Joss tampaknya mulai gerah dengan perilaku agresif kompetitornya dan memutuskan untuk meladeni tentangan kampetitor-kompetitornya itu. Extra Joss memutuskan melakukan perluasan merek (brand extention) dengan meluncurkan Extra Joss LG. Menurut saya produk baru ini jelas-jelas dikeluarkan untuk menahan gempuran Hemaviton Jrengg dan Kuku Bima EnerG atau lebih sering dikenal dengan istilah fighting brand. Dari segi materi dan cara pengeksekusian iklannya sudah cukup terlihat jelas bahwa Extra Joss LG memang dikeluarkan untuk menahan gempuran kompetitor Extra Joss. Cara menghadang kompetitor dengan mengeluarkan produk baru memang bukan hal baru di dunia marketing. Kita bisa lihat bagaimana teh botol Sosro juga menghadapi kompetitornya yaitu Fresh Tea (PT. Coca Cola Indonesia) dengan mengeluarkan produk baru Fruit Tea. Dan dari sisi eksekusi iklan juga tampak pertarungan kedua brand tersebut sangat “vulgar”, yaitu jelas-jelas menjelek-jelekkan produk kompetitornya.
Khusus untuk Kuku Bima EnerG, produk yang dikeluarkan oleh Kalbe Farma ini memang relatif baru bermain di pasar minuman energi . Tetapi dengan budget iklan yang sangat “berani” dan dengan startegi marketing yang sangat jitu, dengan cepat Kuku Bima EnerG telah mampu mencuri perhatian konsumen. Kita bisa lihat bagaimana cerdiknya mereka mensponsori program Kontes Dangdut TPI (KDI). Saya katakan cerdik karena program ini memiliki trend rating dan TV share yang terus meningkat dengan terget audiens adalah golongan menengah ke bawah (SES C,D,E). Penggunaan endorser Dony Kusuma juga saya anggap sangat cerdik. Kita mungkin masih ingat kalau Dony Kusuma juga merupakan endorser Extra Joss jaman “dahulu” versi sopir truk. Dan di iklan Kuku Bima EnerG, Dony Kusuma juga sempat mengatakan “setelah coba sana-sini…. ”, iklan ini seolah-olah ingin mengatakan kepada konsumen bahwa Dony Kusuma enggak puas dengan produk terdahulunya, yaitu Extra Joss.
Menghadapi semua gempuran pesaingnya, Extra Joss tak tinggal diam. Melalui iklan-iklan Extra Joss LG, PT.Bintang Toedjoe tampaknya ingin mewarning pesaing-pesaingnya. Kita bisa lihat, disamping frekuensi yang cukup banyak (heavy), Extra Joss LG juga menjadi sponsor utama acara Lelaki Sejati di Indosiar dan acara reality show Penghuni Terakhir di ANTV. Endorser yang digunakan adalah artis dangdut Liza Natalia, pelawak Gogon dan grup band rock asal Surabaya yaitu Boomerang. Terlihat jelas dari percakapan pada iklan tersebut, Extra Joss LG memang dikeluarkan untuk melawan Kuku Bima EnerG dan Hemaviton Jrengg. Bagaimana Liza Natalia mengatakan: “Minumannya boleh sama-sama kuning, bungkusnya boleh sama-sama merah….”. Kemudian bagaimana Gogon sempat mengatakan: ”Jangan asal Jrang ‘Jreng’ Jrong…”. Dari sisi rasa, menurut saya Extra Joss LG juga dibuat agak mirip dengan rasa Hemaviton Jrengg, yaitu dengan penambahan aroma “permen karet”.
Melihat pangsa pasar minuman energi dalam sashet yang mengalami trend peningkatan, tak pelak membuat pemain-pemain baru bermunculan. Sekitar pertengahan tahun 2004 ini, PT.Sari Enesis Indah, perusahaan yang memproduksi Adem Sari juga turut bertarung di pasar minuman energi ini dengan produk Naturade Gold. Dari komunikasi iklannya dapat dilihat kalau produk ini ingin memberikan value yang berbeda bagi konsumennya. Dengan komposisi zat yang ada pada minuman tersebut, mereka mengklaim bisa menambah stamina dan mempertahankannya lebih lama, dan bisa memberi nutrisi otak kepada peminumnya (meskipun khasiat ini baru bisa dirasakan setelah 30 hari pemakaian).
Berdasarkan data Indonesian Best Brand Survey 2004 yang dilakukan oleh lembaga riset independen MARS (Marketing Research Specialist), terlihat bahwa Extra Joss juga menjadi pemenang pada kategori Minuman Energi Non Cair mengalahkan Hemaviton Jreng, Fit Up dan Sakatonik Grenk.
Dan ditahun 2004 ini juga, Bintang Toedjoe juga mengeluarkan minuman penambah energi khusus untuk segmen wanita, yaitu Femirex. Setelah sebelumnya juga merambah ke pasar anak-anak dengan produk Joss Kid.
Namun hal yang paling mengejutkan dan sekaligus membingungkan saya adalah ketika baru-baru ini ExtraJoss mengeluarkan ExtraJoss kemasan kaleng dengan nama ExtraJoss X. Kenapa membingungkan? Ini dikarenakan positioning ExtraJoss sendiri di awal-awal peluncurannya hingga sekarang adalah minuman energi yang “anti” botol/kaleng. Dengan positioning, “Ini biangnya, buat apa botolnya” cukup menohok para pesaingnya saat itu, seperti Kratingdaeng dan Lipovitan. Dan harus diakui bahwa dengan positioning itulah ExtraJoss bisa cepat melakukan penetrasi pasar dan mencuri share Kratingdaeng. Namun menurut saya pertimbangan Bintang Toedjoe mengeluarkan ExtraJoss X ini sekedar untuk memenuhi konsumen loyal ExtraJoss yang mulai cenderung malas untuk mencampur minuman itu dengan air putih dulu sebelum diminum (pertimbangan kepraktisan). Dan menurut saya minuman ini ditujukan untuk kalangan ekonomi SES A dan B+, karena memang harga yang dipatok juga jauh melebihi harga ExtraJoss sashet. Dan dengan peluncuran Extrajoss X ini jelas-jelas Bintang Toedjoe ingin head on dengan Kratingdaeng yang merajai minuman energi dalam botol.
Begitulah Bintang Toedjoe, sebagai pemimpin pasar mereka selalu melakukan perluasan dan inovasi terhadap produknya dan selalu merasa tidak puas dengan market share yang didapat selama ini. Menarik kita lihat pertarungan pada kategori minuman penambah energi ini.
SELAMAT BERTARUNG HABIS-HABISAN…!!!
*Research Executive MARS-Marketing Research Specialist
Jakarta, 13 Desember 2004

Advertising Pre Test


Hari gini…siapa yang nggak kenal iklan??? Saya yakin pasti semua orang tahu iklan. Namun jika pertanyaan ini ditanyakan di awal tahun 90-an, pasti kondisinya terbalik. Masyarakat masih belum familiar dengan iklan. Saya jadi teringat kejadian lucu pada waktu pertama kali TPI mulai on air. Betapa senangnya saya dan teman-teman melihat iklan setelah sebelumnya tidak pernah melihat iklan TV di TVRI. Kita semua sepertinya hampir hafal dengan iklan-iklan yang keluar, disamping juga karena belum banyaknya iklan yang muncul di setiap commercial break dan juga factor jumlah station TV yang belum banyak juga, sehingga minat untuk ganti chanel tidak terlalu besar.

Tapi…itu dulu. Ketika jumlah iklan dan station TV belum sebanyak sekarang. Dulu iklan digemari orang, tapi sekarang setiap iklan muncul tidak sedikit orang yang kesal, dan berusaha mengganti ke chanel yang lainnya.

Sebagai orang yang pernah “mampir” ke dunia advertising, saya paham betul bagaimana teman-teman di perencanaan media (media planning) sudah betul-betul berusaha untuk membuat iklan yang dipasang disuatu acara bisa dilihat oleh penonton yang juga dianggap sebagai konsumen. Mereka sudah mempertimbangkan faktor target audiens yang diselaraskan dengan target market si produk, mempertimbangkan rating televisi(TVR), mempertimbangkan harga yang dikeluarkan, dan masih banyak pertimbangan lainnya. Tapi semua itu seakan sia-sia kalau iklan kita tidak dilihat oleh konsumen. Kalaupun “beruntung” dilihat, masih ada pertanyaan selanjutnya. Apakah iklan kita cukup diingat oleh konsumen? Apakah pesan yang ingin kita sampaikan benar-benar dapat ditangkap oleh konsumen?

Dua pertanyaan diatas memang sangat mendasar dan harus dipahami oleh para produsen produk dan advertising agency. Logika sederhananya, iklan adalah suatu media atau sarana untuk menyampaikan pesan dari produsen kepada konsumennya. Tetapi jika konsumen sama sekali tidak menangkap pesan yang ingin disampaikan, atau malah salah menangkap pesan yang ingin disampaikan karena saking kreatifnya iklan, ini sama saja bunuh diri, padahal dana yang dikeluarkan untuk 1 spot iklan (30 detik) di prime time misalnya berkisar antara 15-20 juta-an. Bayangkan kalau dalam 1 sinetron yang berdurasi 1 jam, 1 produk bisa beriklan 3 kali, dana yang dikeluarkan sekitar 50 juta-an. Maka tak heran jika budget promosi TV dalam 1 bulan untuk sebuah produk bisa mencapai ratusan juta bahkan milyaran rupiah. Wow…angka yang cukup fantastis.

Lantas, bagaimana solusinya???

Ada satu metode riset untuk mengetahui keefektifan iklan yang kita tampilkan di TV. Ada banyak nama untuk jenis metode riset ini, salah satunya yang paling nge-trend disebut Advertising Pre Test (APT). Metode ini biasanya digunakan untuk menguji iklan-iklan baru yang akan dilaunching di TV. Biasanya sebelum di launch di TV, iklan-iklan tersebut ditest ke beberapa orang untuk mendapatkan input. Teknisnya adalah, sekitar 20 responden dikumpulkan dalam satu ruangan, kemudian diminta menonton suatu acara TV berdurasi sekitar 1 -1.5 jam. Layaknya menonton acara TV, setiap beberapa menit diselingi oleh iklan (yang tentunya salah satunya terdapat iklan dari produk yang akan kita test), begitu seterusnya. Kemudian setelah acara selesai, setiap responden ditanyai hal-hal yang berkaitan dengan iklan yang sedang kita test. Informasi yang bisa kita dapatnya dari APT ini adalah awareness iklan, hal-hal yang diingat dari iklan kita, pesan yang ditangkap, hal yang disukai ataupun yang tidak disukai dari iklan kita dan kita juga bisa mendapatkan masukan dari responden tentang bagaimana seharusnya iklan kita agar bisa menumbuhkan minat beli.

Ada pengalaman menarik ketika belum lama ini kami di MARS melakukan APT untuk produk susu anak-anak. Banyak hal-hal kecil yang tidak disangka-sangka baik oleh kami (MARS.red) maupun dari advertising agency yang membuat iklan tersebut. Dalam iklan tersebut (susu anak.red) digambarkan ada seorang anak-anak yang lompat-lompatan dari satu ayunan ke ayunan lain, yang tak lain tujuannya ingin menunjukkan bahwa setelah minum susu “X” anak bisa sehat dan aktif menjalani aktifitasnya. Tapi apa daya, sebagian besar ibu-ibu yang menjadi responden tidak setuju dengan adegan tersebut, mereka takut kalau-kalau anaknya meniru adegan tersebut. Tentunya itu hanya salah satu hal menarik yang bisa kita petik dari riset ini (APT.red).

Tapi sekali lagi, seperti sudah saya pernah ungkapkan pada tulisan saya terdahulu, tidak ada metode riset yang paling paripurna, tetapi tips-nya tetap sama yaitu jangan pernah biarkan responden mengetahui tujuan riset anda.

Selamat ber-APT ria…


*Research Executive MARS-Marketing Research Specialist

Jakarta,27 January 2005

Ternyata, kuantitatif saja tidak cukup

Belum lama ini kami di MARS melakukan riset pasar tentang kepuasan dan loyalitas pelanggan (Customer Satisfaction and Loyalty Survey) di 52 kota besar di Indonesia yang merupakan pesanan salah BUMN besar di Indonesia. Hal yang menarik yang bisa saya ambil dari hasil survey tersebut adalah tentang hasil survey yang cukup “menyenangkan” klien kami tersebut. Betapa tidak, dari survey tersebut didapatkan temuan bahwa sebagian besar responden telah puas dengan apa yang didapatkan dari perusahaan, sebagian besar juga menyatakan loyal pada produk tersebut. Namun hal yang mencengangkan ditemukan kemudian!!! Fakta dilapangan berbicara, banyak konsumen yang tidak konsisten dengan apa yang mereka jawab dari butir-butir pertanyaan yang disusun dalam kuesioner. Mereka bilang loyal, bilang puas, tetapi malah membeli/menggunakan merek lain. Tapi apakah kita bisa menyalahkan konsumen? Bisakah kita melaporkan konsumen ke polisi hanya karena produsen menganggap konsumen telah ingkar janji??? Sekali lagi jawabannya ada pada pameo lama yang masih ampuh sampai saat ini: Pelanggan adalah Raja!!!

Posisi sulit memang ada pada produsen, dimana persaingan sekarang makin ketat. Sedikit mengecewakan konsumen, dengan gampangnya mereka akan beralih ke lain hati. Maka benar jika Handi Irawan dalam bukunya Winning Strategi mengatakan bahwa, tugas produsen adalah bagaimana bisa menciptakan “Nabi” sebanyak-banyaknya bagi produk kita dan meminimalisasi “Terorist” bagi produk kita. Nabi adalah manusia mulia yang menyiarkan kebaikan-kebaikan ke orang lain. Dan terorist adalah segerombolan orang yang selalu membuat keonaran, yang memiliki image negatif di masyarakat.

Kembali ke hasil riset pasar di atas, terkadang memang sering terjadi perbedaan perilaku konsumen. Mereka dengan mudahnya menjawab puas, bahkan sangat puas, loyal dan akan membeli produk tersebut dengan harga tertentu, tetapi sekali lagi, fakta dilapangan sering berbiacara sebaliknya. Dimana letak kesalahannya? Apakah pertanyaan kuesionernya,interviewernya atau konsumennya yang dalam hal ini menjadi responden? Semuanya memang mungkin!!!

Secara psikologi, terkadang konsumen memang cenderung untuk lebih mengemukakan sisi baik dari dirinya, atau hanya mengungkapkan sisi-sisi positifnya. Mereka masih memiliki perasaan sungkan, terutama untuk responden yang berada pada SES menengah kebawah (SES D,E). Sedangkan kita tentunya menginkan bisa memahami konsumen luar dan dalam, sisi positif dan negatifnya. Pertanyaannya sekarang, bagaimana cara agar kita bisa menggali kebutuhan tersembunyi (hidden needs) konsumen???

Customer Insight Research!!!

Yaitu suatu proses mencari secara lebih mendalam dan holistik, tentang latar belakang perbuatan, pemikiran dan perilaku seorang konsumen yang berhubungan dengan produk dan kumunikasi iklannya. Itulah sebabnya, mengapa perusahaan sebesar Unilever menghapuskan posisi Market Research Manager di seluruh negara dan menggantinya dengan jabatan baru, Customer Insight Manager.

Memang tidak ada metode riset yang paling benar, tidak ada metode atau pendekatan riset yang paling paripurna. Semua punya keunggulan dan kelemahan. Tapi ada satu petuah yang akan selalu saya ingat dari guru riset saya, ”Kalau Anda akan melakukan sebuah riset, jangan biarkan responden Anda menebak/mengetahui tujuan riset Anda”. Kenapa? Bias,Alasannya!!!

Banyak contoh lahirnya ide baru dan ide komunikasi iklan muncul dari customer insight. Saya jadi teringat cerita dari sebuah buku yang saya baca belum lama ini. Disana disebutkan bagaimana sebuah perusahaan besar sampai menugaskan para managernya untuk tinggal disebuah desa selama 1 bulan hanya untuk mengetahui perilaku dari ibu-ibu desa tersebut. Dan benar, diakhir penelitian tersebut didapatkan banyak temuan-temuan menarik. Contoh lainnya adalah Geng Hijau. Tak banyak yang mengetahui bahwa 5 orang anggota Geng Hijau tersebut ‘dilahirkan’ dari suatu proses penelitian yang memakan waktu dan tenaga. Penelitian tersebut menghasilkan temuan-temuan dimana para pemuda kampung/desa menyenangi ‘nongkrong-nongkrong’ di pos kamling, sambil minum kopi, sambil menggoda cewek-cewek desa yang lewat (kalo yang ini nggak hanya pemuda desa deh..). Sampai akhirnya ditemukan satu benang merah, yaitu kebersamaan. Mereka senang melakukan apapun asal bisa selalu bersama dengan teman-temannya. Akhirnya keluarlah tagline “Sampoerna Hijau, Asyiknya Rame Rame…”.

Saya jadi teringat iklan mie sedap versi terbaru. Melalui kamera tersembunyi disalah satu sudut supermarket terpantau bagaimana perilaku konsumen ketika akan membeli sebuah produk. Memang untuk kepentingan iklan, semua adegan-adegan yang muncul pasti sudah diatur, tapi saya tidak mempermasalahkan hal ini. Yang saya ingin ungkapkan adalah bagaimana sebenarnya dari kamera tersembunyi tersebut dapat kita ambil suatu pola sikap/perilaku konsumen, apakah mereka membeli produk itu karena permintaan anaknya, apakah mereka membanding-bandingkannya dengan produk sejenis/kompetitor baik dari sisi kemasan, harga,dsb. Sangat banyak yang bisa kita ambil dari rekaman gambar tersebut.

Saya termasuk orang yang percaya kalau hal-hal yang sangat berharga ini sulit untuk sekedar bisa ditangkap dari pertanyaan-pertanyaan di kuesioner kuantitatif. Dari rekaman kamera tersebut responden pasti tidak bisa mengelak bahwa mereka sebelumnya melakukan proses perbandingan harga terlebih dahulu sebelum memutuskan membeli suatu merek, meskipun kalau kita tanyakan pada saat melakukan survey mereka menyebut tidak pernah melakukan perbandingan harga. Ini hanya satu contoh kecil saja. Mungkin responden tidak bermaksud berbohong kepada interviewer riset, tapi mereka mungkin sulit untuk membayangkan/mengimajinasikan apa yang mereka lakukan pada saat mereka melakukan sebuah proses pembelian.

Sekali lagi, memang tidak ada suatu proses riset yang paling sempurna. Tetapi yang harus tetap kita ingat ketika kita akan melakukan sebuah riset adalah “Jangan biarkan responden mengetahui tujuan riset kita”.
AND UNTIL NOW…CUSTOMER INSIGHT IS THE BEST TOOL TO FIND OUT THE CUSTOMER’S HIDDEN NEEDS!!!


*Research Executive MARS-Marketing Research Specialist
Jakarta,22 Desember 2004

Endorser (part-1)

Sengaja saya mengangkat tema Endorser pada tulisan saya kali ini. Ada beberapa alasan mengapa saya mencoba membahas tema lama ini, alasan utama yang agak nyeleneh menurut saya karena akhir-akhir ini saya mulai geli dengan perilaku para produsen dengan advertsing agency–nya. Sering saya uring-uringan setiap melihat iklan baru, meskipun harus diakui banyak juga beberapa iklan baru yang sangat oke, baik dari sisi efektifitas dan cara pengeksekusiannya. Kenapa saya geli melihat iklan-iklan itu??!!!

Itu dikarenakan penggunaan endorser yang saya pingir ngawur. Penuh dengan nuansa aji mumpung!!! Sebernernya jika kita perhatikan, fungsi artis tersebut atau yang biasa dikenal dalam dunia pemasaran dengan nama Endorser adalah untuk mendukung strategi komunikasi dari suatu merek yang diiklankan oleh si artis tersebut. Kata kuncinya adalah sebagai pendukung, bukan malah sebaliknya, menghancurkan!!! Sangat disayangkan sekali ketika suatu produsen telah menghabiskan dana yang begitu besar mulai dari biaya kontrak artis sampai pembuatannya yang cukup memakan waktu, tapi produk tersebut belum diminati oleh pasar hanya karena salah dalam pemilihan/penggunaan artis yang digunakan dalan iklannya.

Memang ada beberapa keuntungan ketika kita menggunakan artis/publik figur dalam iklan-iklan kita. Hal yang paling terasa adalah minimal kita (seharusnya) bisa mendapatkan awareness yang tinggi, peningkatan awareness yang cukup signifikan. Ini dapat dibuktikan dari penggunaan Inul Daratista dalam iklan Sakatonik Grengg (dulu). Pernah saya mengalami pengalaman lucu yang berkaitan dengan iklan ini. Suatu saat saya melihat sopir dikantor saya sedang membuat minuman sakatonik grenk. Pas saya tanyakan kenapa membeli minuman tersebut, bapak itu langsung menjawab “biar bisa ngebor mas”, sambil memperagakan goyang ngebor ala Inul yang khas seperti adegan pada iklan Sakatonik Grenk tersebut. Saya langsung berpikir dalam hati, begitu hebatnya Inul sampai-sampai orang yang membeli dan meminum sakatonik grenk tersebut melakukan “ritual” ngebor pada saat mengaduk minuman tersebut. Tak pelak, kurang dari 2 bulan setelah penanyangan iklan ngebor tersebut, awareness dan ujung-ujungnya selling dari Sakatonik Grenk meningkat drastis. Tapi sayang, lagi-lagi karena coba-coba melawan sang market leader lewat spot iklan macam Extra Joss, yang jelas-jelas punya backing kocek yang tebal, akhirnya produk ini menghilang seperti ditelan bumi.

Selain karena alasan awareness, alasan lain mengapa para produsen menggunakan endorser adalah adanya keinginan “menaikkan status” suatu brand. Tapi alasan ini justru kadang menjadi blunder bagi para merketer. Sering konsumen tak percaya, apa bener si artis menggunakan brand yang diiklankannya tersebut??!! Contoh kasus dalam hal ini adalah penggunaan Delon Indonesian Idol dan jurinya Titi DJ dalam produk Burkrim-sabun cuci. Saya berguman dalam hati, mana mungkin kita percaya Si Delon make produk yang dijual 1000 rupiah dan dapat 3 pula. Mungkin bagi brand Burkrim bisa mendapatkan keuntungan minimal dari sisi awareness, tapi saya justru melihat kerugian pada si Artis yang bisa-bisa terlanjur dipersepsikan murahan. Sangat disayangkan sekali!!!

Tapi sekali lagi pemilihan endorser ini berkaitan erat dengan target pasar yang akan dibidik oleh suatu produk. Produk ini jelas-jelas di targetkan untuk SES bawah (C,D,E). Dan karakteristik golongan ini adalah tidak mau berpikir ruwet dan jlimet, nggak mau mikir kualitas produk, yang penting murah (price sensitive). Kalo sudah begini, kita tunggu saja beberapa waktu kedepan, tepat nggak sih pemilihan endorser tersebut???
· * Research Executive MARS-Marketing Research Specialist
· Jakarta,12 Desember 2004

Endorser (part-2)

Pada tulisan bagian pertama saya tentang Endorser telah dipaparkan tentang keuntungan kita menggunakan Endorser dalam setiap iklan-iklan kita. Kali ini akan saya bahas tentang bagaimana efek negatif dari penggunaan endorser.

Salah satu kerja berat kita sebagai produsen yang telah mengikat kontrak dengan salah satu artis/public figure adalah menjaga image artis tersebut. Saya katakan kerja berat karena kita sebagai produsen tidak bisa mengontrol perilaku artis. Jangankan produsen, manager sang artispun tidak bisa mengontrol perilaku sang artis. Sebagai produsen yang telah mengeluarkan uang yang cukup banyak untuk mengontrak sang artis, kita tentu tidak ingin produk kita ketiban pulung hanya karena perilaku kurang mengenakkan dari sang artis. Produsen tentu punya kepentingan yang besar akan kelangsungan karir sang artis karena biar bagaimanapun sang artis adalah duta produk kita.

Kita bisa lihat bagaimana Jamu Tolak Angin langsung bereaksi dengan tidak melanjutkan kontrak Sophia Latjuba hanya karena saat itu Sophia terkena isyu (atau fakta?) kurang mengenakkan, dituduh merebut suami orang. Saya disini tidak akan membahas isyu atau fakta tersebut. Yang menarik perhatian saya adalah bagaimana efek/dampak dari isyu tak sedap ini terhadap jamu Tolak Angin yang telah menjadikan Sophia sebagai endorsernya dalam beberapa tahun belakangan untuk melawan gempuran pesaing kuatnya yaitu PT.Deltomed Lab dengan brand Antangin JRG yang menggunakan pelawak Basuki dan presenter Peggy Melati Sukma.

Terkadang saya berpikir, harusnya artis-artis itu mencotoh sikap artis muda Dian Sastro ataupun Tamara Blezynki. Kita tahu bagaimana mereka berdua nampak ekslusive dimata para konsumen. Mereka tidak banyak membintangi iklan, tapi meskipun hanya membintangi 1-2 iklan, iklan produk tersebut terkesan mewah!!! Dian Sastro “hanya” membintangi Panasonic dan sabun Lux. Begitu pula dengan Tamara Blezynki, hanya membintangi produk Lux dan pernah membintangi iklan mobil mewah. Kita bisa perhatikan bagaimana mereka mampu menjaga image keartisan mereka. Tidak asal aji mumpung!!! Harusnya para produsen dan creative advertising agency mengerti, apakah ketika satu artis membintangi banyak produk, konsumen nggak bingung? Mungkinkah seluruh produk tersebut akan mampu melekat pada diri sang artis??!!!

Beberapa waktu yang lalu diadakan survey mengenai artis yang dilakukan oleh MARS-Marketing Research Specialist. Survey ini menganalogikan artis adalah sebuah brand/merek. Dari survey ini didapatkanlah beberapa image yang melekat dari diri sang artis. Misal Sarah Azhari yang dipersepsikan konsumen sebagai artis terseksi, maka wajar jika Sarah membintangi produk-produk multivitamin penunjang vitalitas pria dewasa. Primus dan Ari Wibowo yang dipersepsikan sebagai artis paling macho versi sebagian besar responden, maka sangat tepat jika Fatigon (Spirit) “menyerahkan” tugas komunikasinya kepada mereka berdua.

Maka alangkah baiknya jika para produsen melakukan riset pasar terlebih dahulu untuk melihat kecocokan artis dengan produk yang akan dibintanginya. Minimal dengan riset kualitatif seperti Focus Group Discussion. Tapi harus diakui kalau masih banyak diantara eksekutif-eksekutif puncak perusahaan yang cenderung menggunakan feeling atau indera ke-enam atau malah indera ke-tujuh mereka dalam mengambil keputusan penting. Lebih cepat dan murah, kata mereka!!!


* Research Executive MARS-Marketing Research Specialist
Jakarta,14 Desember 2004

Tuesday, July 05, 2005

MENJADI SEORANG PEMIMPIN

Wah “kebayang enaknya jadi pemimpin, siapa yang gak mau yah ?” pasti itu yang pertama kali terbersit kalau kita ngebayangin jadi pemimpin. Tapi apa jadi pemimpin itu memang benar enak ? atau penuh dengan perjuangan ?

Sebenarnya jadi pemimpin itu enak banget, tetapi juga gak enak, “nah lo !” Ambil contoh sederhana pengayom bebek. Menjadi seorang penganyom bebek itu kita harus pintar menggiring bebek-bebek kita ke arah yang benar, coba kalau kita lengah sedikit saja’ wah bisa dipastikan bebek itu akan lari kemana-mana, dan ujung-ujungnya penganyom bebek itu yang harus lari kesana sini membawa bebek itu ke arah yang benar.

Demikian juga menjadi seorang pemimpin, kita tuh memang harus punya bakat dan kemampuan memimpin yang benar. Bakat kalau gak ditunjang kemampuan juga gak ada gunanya, kita memang disegani tapi kita gak tahu bagaimana harus mengambil keputusan yang benar, kita bertindak semau kita, nah sulit kan ?

Dengan bakat menjadi pemimpin kita harus terlihat bercahaya dan disegani untuk menjadi seorang pemimpin dan lengkaplah bila ditunjang kemampuan kita dalam memimpin, yang bisa mencakup kemampuan mengarahkan bawahan, kemampuan membuat keputusan, kemampuan mendelegasikan tugas, kemampuan menganalisa, kemampuan mengorganisasi, bagaimana bisa mempercayai bawahan, bagaimana bisa membuat perencanaan yang baik, bagaimana bisa mengontrol emosi dan lebih lengkap lagi bila ditunjang pengalaman.

Sesuai dengan perkembangan yang terjadi dalam suatu organisasi, maka dikatakan juga seorang pemimpin yang baik harus memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin yang bisa membangkitkan partisipatif seluruh staff tetapi juga bila diperlukan bisa mengambil peran untuk mengarahkan staff tersebut. Menjadi seorang pemimpin kita juga harus menjadi panutan, kedisplinan, profesionalisme kerja, bagi semua bawahan kita. Tentunya dengan gaya yang bisa diterima oleh budaya organisasi yang kita jalankan.

Ada organisasi yang akan mencapai targetnya dengan maksimal apabila dipimpin dengan gaya kekeluargaan dan santai, ada juga organisasi yang akan mencapai target apabila dipacu dan dikomando dengan baik, ada pula organisasi yang akan mencapai target bila semua teamnya diberi kepercayaan penuh oleh atasan, dan banyak lagi lainnya.

Wah rumit ya menjadi pemimpin. Tapi kita harus optimis kita akan bisa memimpin dengan baik. Belajar dari pengalaman merupakan suatu pelajaran yang sangat baik untuk lahir menjadi seorang pemimpin yang prima.

TURNING POINT IN YOUR LIFE

Apakah anda anda pernah merasakan perubahan yang berartidalam hidup anda ? Perubahan disini berarti suatu hal, atauseseorang, atau suatu kejadian, yang secara drastis dalam waktusingkat mengubah hidup kita. Sebagai contoh, misalnya kejadianseseorang menikah. Menikah disini bisa merupakan turning point bagiorang tersebut, karena setelah menikah mungkin hidupnya akanberubah, tidak sama lagi dengan sebelum menikah.Brian Tracy dalam salah satu bukunya pernah mengatakan,bahwa dalam hidupnya, secara rata-2 setiap orang akan mengalamisembilan kali turning point. Dua hal yang sudah pasti, yaitukelahiran dan kematian kita. Lalu, bagaimana dengan yang tujuh ?

Kita sebagai manusia tidak akan pernah tahu kapan suatu hal,kejadian atau orang lain merupakan satu titik balik yang mengubahhidup kita secara drastis. Mungkin turning point tersebut bisaterjadi di dunia kerja, di dalam keluarga, dalam kehidupan pribadi,dalam masyarakat, atau lainnya. Masalahnya, karena tidak pernahtahu, banyak orang yang MENUNGGU turning point tersebut datang.Menunggu bisa mendapat pekerjaan yang bagus, menunggu bisa mendapatpasangan hidup yang serasi, menunggu ada orang lain yang maumenolong kita, dan sebagainya. Apakah penantian itu membuahkanhasil ? Sayang sekali tidak. Karena jika dengan menunggu saja bisamendapatkan turning point, mestinya jumlah orang sukses lebih banyakdari yang gagal. Kesalahan kedua, adalah karena orang MENGABAIKANhal-hal kecil karena dianggap hal tersebut tidak mungkin bisamenjadi titik balik kehidupan. Padahal, mungkin turning point kitabisa terjadi bukan dari hal kecil tersebut, tapi dari AKUMULASI yangterjadi selama satu masa tertentu.

Adalah tugas kita untuk MENCIPTAKAN turning point bagi kitasendiri, dengan cara MELAKUKAN APA YANG SEHARUSNYA KITA LAKUKAN.Lalu, seperti apa kongkret tindakan yang harus kita lakukan ?1. Jangan hanya menunggu dan berharap, tapi lakukan semua tugasdan kerja anda 100 %.2. Perluas networking anda dengan selalu berkenalan denganorang baru. Anda tidak akan pernah tahu value seseorang bagidiri anda sebelum anda berkenalan dengannya.3. Bersikap proaktif, dengan selalu mencari opportunity darisetiap kejadian yang bisa meningkatkan value anda4. Bersikap fleksibel, dengan mencoba memahami suatu hal daribeberapa sudut pandang. Ini akan memberikan anda banyakinsight untuk pertumbuhan diri anda.

Orang yang paling malang di dunia, adalah mereka yang diakhir hidupnya baru sadar bahwa turning point mereka hanyalah dua.Orang yang luar biasa, adalah mereka yang sadar bahwa mereka bisamenciptakan turning point itu, dan mengejarnya. Jadikan hidup kitalebih berarti.

Jadilah orang yang luar biasa, mulai hari ini ! Sukses untuk anda !