Advertising Pre Test
Hari gini…siapa yang nggak kenal iklan??? Saya yakin pasti semua orang tahu iklan. Namun jika pertanyaan ini ditanyakan di awal tahun 90-an, pasti kondisinya terbalik. Masyarakat masih belum familiar dengan iklan. Saya jadi teringat kejadian lucu pada waktu pertama kali TPI mulai on air. Betapa senangnya saya dan teman-teman melihat iklan setelah sebelumnya tidak pernah melihat iklan TV di TVRI. Kita semua sepertinya hampir hafal dengan iklan-iklan yang keluar, disamping juga karena belum banyaknya iklan yang muncul di setiap commercial break dan juga factor jumlah station TV yang belum banyak juga, sehingga minat untuk ganti chanel tidak terlalu besar.
Tapi…itu dulu. Ketika jumlah iklan dan station TV belum sebanyak sekarang. Dulu iklan digemari orang, tapi sekarang setiap iklan muncul tidak sedikit orang yang kesal, dan berusaha mengganti ke chanel yang lainnya.
Sebagai orang yang pernah “mampir” ke dunia advertising, saya paham betul bagaimana teman-teman di perencanaan media (media planning) sudah betul-betul berusaha untuk membuat iklan yang dipasang disuatu acara bisa dilihat oleh penonton yang juga dianggap sebagai konsumen. Mereka sudah mempertimbangkan faktor target audiens yang diselaraskan dengan target market si produk, mempertimbangkan rating televisi(TVR), mempertimbangkan harga yang dikeluarkan, dan masih banyak pertimbangan lainnya. Tapi semua itu seakan sia-sia kalau iklan kita tidak dilihat oleh konsumen. Kalaupun “beruntung” dilihat, masih ada pertanyaan selanjutnya. Apakah iklan kita cukup diingat oleh konsumen? Apakah pesan yang ingin kita sampaikan benar-benar dapat ditangkap oleh konsumen?
Dua pertanyaan diatas memang sangat mendasar dan harus dipahami oleh para produsen produk dan advertising agency. Logika sederhananya, iklan adalah suatu media atau sarana untuk menyampaikan pesan dari produsen kepada konsumennya. Tetapi jika konsumen sama sekali tidak menangkap pesan yang ingin disampaikan, atau malah salah menangkap pesan yang ingin disampaikan karena saking kreatifnya iklan, ini sama saja bunuh diri, padahal dana yang dikeluarkan untuk 1 spot iklan (30 detik) di prime time misalnya berkisar antara 15-20 juta-an. Bayangkan kalau dalam 1 sinetron yang berdurasi 1 jam, 1 produk bisa beriklan 3 kali, dana yang dikeluarkan sekitar 50 juta-an. Maka tak heran jika budget promosi TV dalam 1 bulan untuk sebuah produk bisa mencapai ratusan juta bahkan milyaran rupiah. Wow…angka yang cukup fantastis.
Lantas, bagaimana solusinya???
Ada satu metode riset untuk mengetahui keefektifan iklan yang kita tampilkan di TV. Ada banyak nama untuk jenis metode riset ini, salah satunya yang paling nge-trend disebut Advertising Pre Test (APT). Metode ini biasanya digunakan untuk menguji iklan-iklan baru yang akan dilaunching di TV. Biasanya sebelum di launch di TV, iklan-iklan tersebut ditest ke beberapa orang untuk mendapatkan input. Teknisnya adalah, sekitar 20 responden dikumpulkan dalam satu ruangan, kemudian diminta menonton suatu acara TV berdurasi sekitar 1 -1.5 jam. Layaknya menonton acara TV, setiap beberapa menit diselingi oleh iklan (yang tentunya salah satunya terdapat iklan dari produk yang akan kita test), begitu seterusnya. Kemudian setelah acara selesai, setiap responden ditanyai hal-hal yang berkaitan dengan iklan yang sedang kita test. Informasi yang bisa kita dapatnya dari APT ini adalah awareness iklan, hal-hal yang diingat dari iklan kita, pesan yang ditangkap, hal yang disukai ataupun yang tidak disukai dari iklan kita dan kita juga bisa mendapatkan masukan dari responden tentang bagaimana seharusnya iklan kita agar bisa menumbuhkan minat beli.
Ada pengalaman menarik ketika belum lama ini kami di MARS melakukan APT untuk produk susu anak-anak. Banyak hal-hal kecil yang tidak disangka-sangka baik oleh kami (MARS.red) maupun dari advertising agency yang membuat iklan tersebut. Dalam iklan tersebut (susu anak.red) digambarkan ada seorang anak-anak yang lompat-lompatan dari satu ayunan ke ayunan lain, yang tak lain tujuannya ingin menunjukkan bahwa setelah minum susu “X” anak bisa sehat dan aktif menjalani aktifitasnya. Tapi apa daya, sebagian besar ibu-ibu yang menjadi responden tidak setuju dengan adegan tersebut, mereka takut kalau-kalau anaknya meniru adegan tersebut. Tentunya itu hanya salah satu hal menarik yang bisa kita petik dari riset ini (APT.red).
Tapi sekali lagi, seperti sudah saya pernah ungkapkan pada tulisan saya terdahulu, tidak ada metode riset yang paling paripurna, tetapi tips-nya tetap sama yaitu jangan pernah biarkan responden mengetahui tujuan riset anda.
Selamat ber-APT ria…
*Research Executive MARS-Marketing Research Specialist
Jakarta,27 January 2005
0 Comments:
Post a Comment
<< Home