Endorser (part-2)
Pada tulisan bagian pertama saya tentang Endorser telah dipaparkan tentang keuntungan kita menggunakan Endorser dalam setiap iklan-iklan kita. Kali ini akan saya bahas tentang bagaimana efek negatif dari penggunaan endorser.
Salah satu kerja berat kita sebagai produsen yang telah mengikat kontrak dengan salah satu artis/public figure adalah menjaga image artis tersebut. Saya katakan kerja berat karena kita sebagai produsen tidak bisa mengontrol perilaku artis. Jangankan produsen, manager sang artispun tidak bisa mengontrol perilaku sang artis. Sebagai produsen yang telah mengeluarkan uang yang cukup banyak untuk mengontrak sang artis, kita tentu tidak ingin produk kita ketiban pulung hanya karena perilaku kurang mengenakkan dari sang artis. Produsen tentu punya kepentingan yang besar akan kelangsungan karir sang artis karena biar bagaimanapun sang artis adalah duta produk kita.
Kita bisa lihat bagaimana Jamu Tolak Angin langsung bereaksi dengan tidak melanjutkan kontrak Sophia Latjuba hanya karena saat itu Sophia terkena isyu (atau fakta?) kurang mengenakkan, dituduh merebut suami orang. Saya disini tidak akan membahas isyu atau fakta tersebut. Yang menarik perhatian saya adalah bagaimana efek/dampak dari isyu tak sedap ini terhadap jamu Tolak Angin yang telah menjadikan Sophia sebagai endorsernya dalam beberapa tahun belakangan untuk melawan gempuran pesaing kuatnya yaitu PT.Deltomed Lab dengan brand Antangin JRG yang menggunakan pelawak Basuki dan presenter Peggy Melati Sukma.
Terkadang saya berpikir, harusnya artis-artis itu mencotoh sikap artis muda Dian Sastro ataupun Tamara Blezynki. Kita tahu bagaimana mereka berdua nampak ekslusive dimata para konsumen. Mereka tidak banyak membintangi iklan, tapi meskipun hanya membintangi 1-2 iklan, iklan produk tersebut terkesan mewah!!! Dian Sastro “hanya” membintangi Panasonic dan sabun Lux. Begitu pula dengan Tamara Blezynki, hanya membintangi produk Lux dan pernah membintangi iklan mobil mewah. Kita bisa perhatikan bagaimana mereka mampu menjaga image keartisan mereka. Tidak asal aji mumpung!!! Harusnya para produsen dan creative advertising agency mengerti, apakah ketika satu artis membintangi banyak produk, konsumen nggak bingung? Mungkinkah seluruh produk tersebut akan mampu melekat pada diri sang artis??!!!
Beberapa waktu yang lalu diadakan survey mengenai artis yang dilakukan oleh MARS-Marketing Research Specialist. Survey ini menganalogikan artis adalah sebuah brand/merek. Dari survey ini didapatkanlah beberapa image yang melekat dari diri sang artis. Misal Sarah Azhari yang dipersepsikan konsumen sebagai artis terseksi, maka wajar jika Sarah membintangi produk-produk multivitamin penunjang vitalitas pria dewasa. Primus dan Ari Wibowo yang dipersepsikan sebagai artis paling macho versi sebagian besar responden, maka sangat tepat jika Fatigon (Spirit) “menyerahkan” tugas komunikasinya kepada mereka berdua.
Maka alangkah baiknya jika para produsen melakukan riset pasar terlebih dahulu untuk melihat kecocokan artis dengan produk yang akan dibintanginya. Minimal dengan riset kualitatif seperti Focus Group Discussion. Tapi harus diakui kalau masih banyak diantara eksekutif-eksekutif puncak perusahaan yang cenderung menggunakan feeling atau indera ke-enam atau malah indera ke-tujuh mereka dalam mengambil keputusan penting. Lebih cepat dan murah, kata mereka!!!
* Research Executive MARS-Marketing Research Specialist
Salah satu kerja berat kita sebagai produsen yang telah mengikat kontrak dengan salah satu artis/public figure adalah menjaga image artis tersebut. Saya katakan kerja berat karena kita sebagai produsen tidak bisa mengontrol perilaku artis. Jangankan produsen, manager sang artispun tidak bisa mengontrol perilaku sang artis. Sebagai produsen yang telah mengeluarkan uang yang cukup banyak untuk mengontrak sang artis, kita tentu tidak ingin produk kita ketiban pulung hanya karena perilaku kurang mengenakkan dari sang artis. Produsen tentu punya kepentingan yang besar akan kelangsungan karir sang artis karena biar bagaimanapun sang artis adalah duta produk kita.
Kita bisa lihat bagaimana Jamu Tolak Angin langsung bereaksi dengan tidak melanjutkan kontrak Sophia Latjuba hanya karena saat itu Sophia terkena isyu (atau fakta?) kurang mengenakkan, dituduh merebut suami orang. Saya disini tidak akan membahas isyu atau fakta tersebut. Yang menarik perhatian saya adalah bagaimana efek/dampak dari isyu tak sedap ini terhadap jamu Tolak Angin yang telah menjadikan Sophia sebagai endorsernya dalam beberapa tahun belakangan untuk melawan gempuran pesaing kuatnya yaitu PT.Deltomed Lab dengan brand Antangin JRG yang menggunakan pelawak Basuki dan presenter Peggy Melati Sukma.
Terkadang saya berpikir, harusnya artis-artis itu mencotoh sikap artis muda Dian Sastro ataupun Tamara Blezynki. Kita tahu bagaimana mereka berdua nampak ekslusive dimata para konsumen. Mereka tidak banyak membintangi iklan, tapi meskipun hanya membintangi 1-2 iklan, iklan produk tersebut terkesan mewah!!! Dian Sastro “hanya” membintangi Panasonic dan sabun Lux. Begitu pula dengan Tamara Blezynki, hanya membintangi produk Lux dan pernah membintangi iklan mobil mewah. Kita bisa perhatikan bagaimana mereka mampu menjaga image keartisan mereka. Tidak asal aji mumpung!!! Harusnya para produsen dan creative advertising agency mengerti, apakah ketika satu artis membintangi banyak produk, konsumen nggak bingung? Mungkinkah seluruh produk tersebut akan mampu melekat pada diri sang artis??!!!
Beberapa waktu yang lalu diadakan survey mengenai artis yang dilakukan oleh MARS-Marketing Research Specialist. Survey ini menganalogikan artis adalah sebuah brand/merek. Dari survey ini didapatkanlah beberapa image yang melekat dari diri sang artis. Misal Sarah Azhari yang dipersepsikan konsumen sebagai artis terseksi, maka wajar jika Sarah membintangi produk-produk multivitamin penunjang vitalitas pria dewasa. Primus dan Ari Wibowo yang dipersepsikan sebagai artis paling macho versi sebagian besar responden, maka sangat tepat jika Fatigon (Spirit) “menyerahkan” tugas komunikasinya kepada mereka berdua.
Maka alangkah baiknya jika para produsen melakukan riset pasar terlebih dahulu untuk melihat kecocokan artis dengan produk yang akan dibintanginya. Minimal dengan riset kualitatif seperti Focus Group Discussion. Tapi harus diakui kalau masih banyak diantara eksekutif-eksekutif puncak perusahaan yang cenderung menggunakan feeling atau indera ke-enam atau malah indera ke-tujuh mereka dalam mengambil keputusan penting. Lebih cepat dan murah, kata mereka!!!
* Research Executive MARS-Marketing Research Specialist
Jakarta,14 Desember 2004
0 Comments:
Post a Comment
<< Home