Beli khasiat atau beli merek??!!!
Namun bagi seorang marketer, pernyataan tersebut mungkin sangat merisaukan. Mengapa? Karena seorang marketer bukan menjual produk, tapi merena menjual merek. Nah loh.. maksudnya apa???
Bagi seorang pemasar sejati, merek adalah segala-galanya. Masih teringat jelas dibenak penulis, bagaimana sebenarnya teh Fresh Tea milik The Coca Cola Company dari sisi rasa sebenarnya lebih disukai oleh masyarakat dibandingkan dengan sang market leader, teh botol Sosro. Dengan Blind Test Research, terlihat bahwa responden lebih menyukai Fresh Tea dibandingkan dengan teh botol Sosro. Bahkan konsep blind test ini juga digunakan dalam story board TV Ad mereka. Namun, apa kenyataannya? Tetap saja Fresh Tea tak mampu untuk menghadang laju teh botol Sosro untuk menjadi penguasa pasar. Dari hasil riset kami di MARS, terlihat jelas pentingnya sebuah merek. Ketika kami melakukan Acceptance Test terhadap suatu produk kopi susu, kami memberikan dua perlakuan, kelompok responden pertama kami berikan minuman namun tanpa memperlihatkan nama mereknya. Dan kelompok responden yang kedua, kami berikan minuman dengan kemasan seperti yang biasa tersedia dipasar. Dan ternyata hasilnya, kelompok responden kedua lebih memberikan hasil yang positive dibandingkan dengan kelompok responden pertama. Pertanyaannya sekarang, faktor apa yang membuat kedua kelompok responden itu memberikan respon yang berbeda????
Jawabannya adalah MEREK!!!
Merek atau brand secara teori bisa didefinisikan sebagai sebuah nama, terminologi, tanda, simbol atau desain yang dibuat untuk menandai atau mengidentifikasi produk yang kita tawarkan ke pelanggan. Merek mempunyai peranan yang penting dan merupakan aset yang prestisius bagi perusahaan. Karena mereklah yang menjadi penentu pembelian pelanggan. Maka dapat dikatakan bahwa strategi pemasaran apapun yang dilakukan oleh perusahaan (baik itu marketing mix dengan 4P – Product, Place, Promotion and Price ataupun strategi STP - Segmentasi, Targeting dan Positioning) sesungguhnya merupakan bagian dari upaya membangun merek itu sendiri.
Untuk mengukur seberapa ’hebat’ sebenarnya suatu merek, para pakar pemasaran telah membuat beberapa indikator-indikatornya, yang kemudian lebih dikenal dengan istilah ekuitas merek (brand equity). Model/definisi yang paling sederhana tentang brand equity adalah model yang dikemukakan oleh David A.Aaker, seorang pengajar strategi pemasaran dari California University, dalam bukunya yang terkenal: Managing Brand Equity (1991). Aaker mengatakan bahwa ada 5 komponen yang membangun ekuitas merek, antara lain:
1. Brand Awareness atau kesadaran merek, artinya seberapa kuat suatu merek dikenal oleh konsumen. Merek yang pertama kali disebut oleh konsumen biasanya dikenal dengan istilah TOM (Top of Mind).
2. Perceived Quality atau persepsi kualitas, artinya persepsi konsumen terhadap kualitas dari produk kita.
3. Brand Association atau asosiasi merek, artinya asosiasi apapun yang terkait/menempel pada suatu merek. Asosiasi ini bisa berupa simbol, bintang iklan, tempat, atau variabel lainnya.
4. Brand Loyalty atau loyalitas merek, artinya seberapa besar tingkat kesetiaan pelanggan terhadap suatu merek.
5. Other Proprietary Assets atau aset-aset merek lainnya yang dapat menjadi sebuah keunggulan bersaing, seperti merek dagang, hak paten, dll.
Semakin tinggi nilai brand equity suatu merek, maka semakin besar pula nilai (value) yang diberikan merek kepada pelanggannya maupun kepada perusahaan itu sendiri. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa usaha membangun merek adalah sebuah usaha untuk mengelola kelima komponen-komponen dari brand equity diatas.
Terlihat jelas bahwa pernyataan pujangga besar Inggris, Shakespeare, ”Apalah arti sebuah nama” tidak berlaku bagi seorang marketer. Karena biar bagaimanapun merek adalah nyawa sebuah produk. Termasuk kita, kita sendiri adalah sebuah merek. Sudahkah kita pernah merenungi ekuitas merek diri kita? Seberapa besarkah nilainya? Kalau belum, mari coba kita lakukan....
-Cipinang-261205-172653-