Mampukah Birdy memperluas pasarnya?
Anda pernah mendengar Birdy? Apa asosiasi Anda jika saya menyebutkan kata ‘Birdy’? Mungkin sebagian orang mengatakan nama sejenis burung, atau nama salah satu armada taxi, atau lain sebagainya, namun mungkin hanya sedikit yang menyebut nama salah satu minuman kopi susu siapa saji (ready to drink coffee). Ini adalah salah satu generasi terbaru dari minuman kopi, yaitu kopi siap saji, karena selama ini yang kita tahu di pasaran adalah kopi dalam bentuk sachet (konsumen perlu menambahkan air panas/dingin sesuai selera masing-masing). Birdy adalah salah satu pemain didalam industri ready to drink coffee, disamping pemain-pemain lain seperti Nescafe, Capucini.
Ready to drink coffee sepintas memang ditujukan untuk menjangkau segmen menengah atas (SES A,B). Benefit yang ditawarkan jelas, kepraktisan (tidak perlu mencampur dengan air), dan tentunya dengan sedikit pengorbanan lebih yaitu harga yang lebih mahal (I think more benefit, more sacrifice). Kebetulan sekitar akhir tahun 2005 lalu saya (baca: MARS - Marketing and Research) sempat melakukan study tentang minuman kopi, wabil khusus ready to drink coffee di beberapa kota di Indonesia.
Saya tertarik untuk mengomentari perkembangan Birdy. Ini adalah pertaruhan dari perusahaan sekelas PT.Ajinomoto yang nota bene terkenal dengan produk penyedap masakan/MSG atau lebih dikenal oleh masyarakat kita dengan istilah mecin. Honestly, sebelum mengerjakan study ini, saya memang sudah aware dengan brand Birdy, tapi saya tidak menyangka kalau ini diproduksi oleh PT.Ajinomoto. Mungkin Ajinomoto juga tergoda untuk ikut mencicipi industri minuman di Indonesia. Dengan bendera PT.Ajinomoto Calpic Beverage Indonesia, Ajinomoto telah lebih dulu bermain di industri minuman dengan brand Calpico (sejenis munuman susu fermentasi).
Dengan menggunakan endorser Mat ‘Bajuri’ Solar, Birdy telah mengeluarkan dua versi iklan TV, dan nampak jelas bahwa dari iklan pertama ke iklan kedua, Birdy ingin memperlebar pasar mereka. Iklan versi pertama mereka bercerita bagaimana seorang Bajuri yang sedang mengangkut penumpang di bajaj terserang kantuk. Dan ketika ada lampu merah, ia turun dari bajaj untuk membeli Birdy. Pesan yang disampaikan jelas bahwa, Birdy mampu menghilangkan kantuk dengan segera, dan sangat praktis, tidak perlu mencari air (baik panas maupun dingin), istilahnya lainnya: tinggal glek! Iklan ini memang mampu menaikkan awarenes audiens terhadap merek Birdy, tapi salah satu image yang terbentuk adalah Birdy minuman bagi sopir Bajaj..nah lo!!! Ini tentunya menjadi image yang (maaf) agak kurang cocok. Mengingat harga yang dibandrol untuk kategori minuman ready to drink coffee cukup premium, sekitar 4000 per botol. Bagi para sopir bajaj, mendingan beli kopi di warung kopi cuma 2000 per gelas, sudah termasuk 1 potong gorengan pisang, he.he… Mungkin menyadari telah terjadi ‘misscommunication’ dalam iklannya, pada iklan keduanya Birdy nampak jelas ingin memperlebar target marketnya dari supir bajaj ke mahasiswa, pekerja kantoran, dan tetap supir (tapi kali ini sopir bus).
Tapi mengapa setelah 1-2 tahun di-launch, Birdy nampaknya belum berjaya?
Mari kita coba menganalisis dengan analisis yang paling sederhana, yaitu Marketing Mix. Marketing mix atau lebih dikenal dengan istilah bauran pemasaran merupakan sebuah strategi yang paling objektif untuk melihat perkembangan suatu produk di pasar. Marketing mix terdiri dari Product, Place, Price, dan Promotion (oleh sebab itu lebih sering dikenal dengan istilah 4P). Dari study itu, ditemukan bahwa dari sisi product, Birdy tidak memiliki masalah yang berarti. Birdy memiliki benefit yang memang mampu menghilangkan kantuk (saya sudah membuktikannya), memiliki kepraktisan. Tersedia dengan 2 kemasan, botol dan karton (tetra pack). Kesimpulannya, dari sisi produk, Birdy tidak memiliki masalah. Dari sisi promosi, saya pikir juga sudah benar. Dua versi TV Ad Birdy sudah mampu memperkenalkan Birdy dan menaikkan awarenessnya. Dari hasil penelitian yang kami lakukan, memang menceritakan hal yang sama, sebagian besar konsumen tahu/mengenal Birdy dari iklan TV, dan ini berarti bahwa iklan TV Birdy cukup efektif untuk memperkenalkan suatu produk baru. Below the line promotion juga dilakukan, dan ini memang terbukti ampuh untuk menaikkan awareness dan berujung pada trial konsumen pada Birdy.
Dari sisi harga, karena ditargetkan untuk kalangan menengah keatas, harga 4000 untuk kemasan kaleng bukanlah suatu masalah. Dan jangan lupa, untuk kalangan mahasiswa, tersedia kemasan ekonomis, yaitu tetra pack seharga kurang lebih sekitar 2500.
Hasil penelitian kemarin menjelaskan bahwa sisi distribusi (place) adalah aspek yang paling memerlukan perhatian pihak Ajinomoto. Apa gunanya memiliki produk bagus, harga yang bersaing, promosi yang efektif tapi tidak didukung oleh jaringan distribusi bagus pula. Bagaimana konsumen yang telah terpengaruh oleh iklan kita bisa mencoba, kalau mereka sulit untuk menemukan produk kita? Birdy mungkin hanya gampang kita temukan pada modern chanel seperti Carefour, Hero atau supermarket besar lainnya. Saya membayangkan, seandainya Birdy dapat kita temukan pada pedagang-pedagang asongan di pinggiran jalan, seperi mudahnya kita mendapatkan Extrajoss maupun Kratingdaeng di pinggir jalan. Jika chanel distribusi ini diperbaiki oleh produsen, saya yakin, pertumbuhan Birdy akan cepat. Mengingat produk sejenis relatif belum banyak pemainnya di pasar dan mereka sama sekali belum melakukan promosi di TV.
Situasi ini seharusnya bisa dimanfaatkan oleh Birdy. Konsumen telah menganggap bahwa Birdy adalah pioneer di kategory ready to drink coffee. Dan ini merupakan suatu keuntungan yang benar-benar harus dioptimalkan oleh Birdy. Dengan semua kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya, kita tinggal menunggu keseriusan usaha dari Ajinomoto untuk mengembangkan Birdy menjadi suatu merek yang mampu memberikan keuntungan jangka panjang bagi perusahaan. Sesuatu yang kelihatannya gampang-gampang susah mungkin.
Satu tips buat Ajinomoto, perbaiki jalur distribusi Anda!
Ready to drink coffee sepintas memang ditujukan untuk menjangkau segmen menengah atas (SES A,B). Benefit yang ditawarkan jelas, kepraktisan (tidak perlu mencampur dengan air), dan tentunya dengan sedikit pengorbanan lebih yaitu harga yang lebih mahal (I think more benefit, more sacrifice). Kebetulan sekitar akhir tahun 2005 lalu saya (baca: MARS - Marketing and Research) sempat melakukan study tentang minuman kopi, wabil khusus ready to drink coffee di beberapa kota di Indonesia.
Saya tertarik untuk mengomentari perkembangan Birdy. Ini adalah pertaruhan dari perusahaan sekelas PT.Ajinomoto yang nota bene terkenal dengan produk penyedap masakan/MSG atau lebih dikenal oleh masyarakat kita dengan istilah mecin. Honestly, sebelum mengerjakan study ini, saya memang sudah aware dengan brand Birdy, tapi saya tidak menyangka kalau ini diproduksi oleh PT.Ajinomoto. Mungkin Ajinomoto juga tergoda untuk ikut mencicipi industri minuman di Indonesia. Dengan bendera PT.Ajinomoto Calpic Beverage Indonesia, Ajinomoto telah lebih dulu bermain di industri minuman dengan brand Calpico (sejenis munuman susu fermentasi).
Dengan menggunakan endorser Mat ‘Bajuri’ Solar, Birdy telah mengeluarkan dua versi iklan TV, dan nampak jelas bahwa dari iklan pertama ke iklan kedua, Birdy ingin memperlebar pasar mereka. Iklan versi pertama mereka bercerita bagaimana seorang Bajuri yang sedang mengangkut penumpang di bajaj terserang kantuk. Dan ketika ada lampu merah, ia turun dari bajaj untuk membeli Birdy. Pesan yang disampaikan jelas bahwa, Birdy mampu menghilangkan kantuk dengan segera, dan sangat praktis, tidak perlu mencari air (baik panas maupun dingin), istilahnya lainnya: tinggal glek! Iklan ini memang mampu menaikkan awarenes audiens terhadap merek Birdy, tapi salah satu image yang terbentuk adalah Birdy minuman bagi sopir Bajaj..nah lo!!! Ini tentunya menjadi image yang (maaf) agak kurang cocok. Mengingat harga yang dibandrol untuk kategori minuman ready to drink coffee cukup premium, sekitar 4000 per botol. Bagi para sopir bajaj, mendingan beli kopi di warung kopi cuma 2000 per gelas, sudah termasuk 1 potong gorengan pisang, he.he… Mungkin menyadari telah terjadi ‘misscommunication’ dalam iklannya, pada iklan keduanya Birdy nampak jelas ingin memperlebar target marketnya dari supir bajaj ke mahasiswa, pekerja kantoran, dan tetap supir (tapi kali ini sopir bus).
Tapi mengapa setelah 1-2 tahun di-launch, Birdy nampaknya belum berjaya?
Mari kita coba menganalisis dengan analisis yang paling sederhana, yaitu Marketing Mix. Marketing mix atau lebih dikenal dengan istilah bauran pemasaran merupakan sebuah strategi yang paling objektif untuk melihat perkembangan suatu produk di pasar. Marketing mix terdiri dari Product, Place, Price, dan Promotion (oleh sebab itu lebih sering dikenal dengan istilah 4P). Dari study itu, ditemukan bahwa dari sisi product, Birdy tidak memiliki masalah yang berarti. Birdy memiliki benefit yang memang mampu menghilangkan kantuk (saya sudah membuktikannya), memiliki kepraktisan. Tersedia dengan 2 kemasan, botol dan karton (tetra pack). Kesimpulannya, dari sisi produk, Birdy tidak memiliki masalah. Dari sisi promosi, saya pikir juga sudah benar. Dua versi TV Ad Birdy sudah mampu memperkenalkan Birdy dan menaikkan awarenessnya. Dari hasil penelitian yang kami lakukan, memang menceritakan hal yang sama, sebagian besar konsumen tahu/mengenal Birdy dari iklan TV, dan ini berarti bahwa iklan TV Birdy cukup efektif untuk memperkenalkan suatu produk baru. Below the line promotion juga dilakukan, dan ini memang terbukti ampuh untuk menaikkan awareness dan berujung pada trial konsumen pada Birdy.
Dari sisi harga, karena ditargetkan untuk kalangan menengah keatas, harga 4000 untuk kemasan kaleng bukanlah suatu masalah. Dan jangan lupa, untuk kalangan mahasiswa, tersedia kemasan ekonomis, yaitu tetra pack seharga kurang lebih sekitar 2500.
Hasil penelitian kemarin menjelaskan bahwa sisi distribusi (place) adalah aspek yang paling memerlukan perhatian pihak Ajinomoto. Apa gunanya memiliki produk bagus, harga yang bersaing, promosi yang efektif tapi tidak didukung oleh jaringan distribusi bagus pula. Bagaimana konsumen yang telah terpengaruh oleh iklan kita bisa mencoba, kalau mereka sulit untuk menemukan produk kita? Birdy mungkin hanya gampang kita temukan pada modern chanel seperti Carefour, Hero atau supermarket besar lainnya. Saya membayangkan, seandainya Birdy dapat kita temukan pada pedagang-pedagang asongan di pinggiran jalan, seperi mudahnya kita mendapatkan Extrajoss maupun Kratingdaeng di pinggir jalan. Jika chanel distribusi ini diperbaiki oleh produsen, saya yakin, pertumbuhan Birdy akan cepat. Mengingat produk sejenis relatif belum banyak pemainnya di pasar dan mereka sama sekali belum melakukan promosi di TV.
Situasi ini seharusnya bisa dimanfaatkan oleh Birdy. Konsumen telah menganggap bahwa Birdy adalah pioneer di kategory ready to drink coffee. Dan ini merupakan suatu keuntungan yang benar-benar harus dioptimalkan oleh Birdy. Dengan semua kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya, kita tinggal menunggu keseriusan usaha dari Ajinomoto untuk mengembangkan Birdy menjadi suatu merek yang mampu memberikan keuntungan jangka panjang bagi perusahaan. Sesuatu yang kelihatannya gampang-gampang susah mungkin.
Satu tips buat Ajinomoto, perbaiki jalur distribusi Anda!
*Research Executive AcCIS Consulting
Part of Indica Research Network
January 29th, 2006
1 Comments:
gan, punya video iklannya birdy yang kedua gak??? yang ada mahasiswa, pekerja kantoran, sama supir busnya..
Post a Comment
<< Home